Sinar matahari sore tersamar awan saat kami dan teman-teman Mantar Berseri beramai-ramai turun dari bukit Mantar, menumpang renjer. Renjer adalah sebutan untuk alat transportasi desa, berupa mobil Hilux dengan bak terbuka. Dari atas renjer, pemandangan di sekeliling bukit baru terlihat jelas. Setelah rangkaian kelas pelatihan selesai, Sabtu, 1 April 2023 kami bersiap berbuka puasa bersama.
Dua Motif Pilihan
Berlatar sebuah kafe kebun yang cantik, sebelum berbuka, kami mengadakan diskusi kecil untuk menentukan dua hal: memilih dua motif yang akan diolah menjadi kain tenun, serta memilih logo Mantar Berseri. Di atas meja, kami menghamparkan delapan motif yang sudah dicetak ke dalam gambar kerja.
Setiap pembuat motif kemudian mempresentasikan tiap motif yang sudah dibuat kepada Kepala Desa Mantar, Asmono, yang juga hadir. Asmono sendiri memfavoritkan motif tenun rumah panggung karya Astuti, salah satu penenun. Menurutnya, Mantar ditetapkan menjadi desa budaya pada 2014 karena masih banyaknya rumah panggung di desa ini. Sementara itu, ibu kepala desa, Jaswiah, mengungkapkan niatnya untuk memasukkan guci pamongka khas Mantar ke dalam motif tenun yang akan datang. Akhirnya, selain motif rumah panggung, motif jeruk sumba karya Devi terpilih untuk diproses menjadi kain tenun.
Logo Nomor Dua
Diskusi kembali menghangat setelah fasilitator DiTenun, Mirza, mempresentasikan tiga pilihan logo Mantar Berseri. Proses brainstorming desain logo ini awalnya dilakukan bersama dengan mengurasi identitas Mantar yang bisa mewakili identitas kelompok tenun. Logo ini memvisualkan kata kunci utama yang mewakili Komunitas Mantar Berseri dengan elemen yang berhubungan dengan tenun, hamparan alam Mantar, dan nama komunitas Mantar Berseri.
Opsi logo pertama berupa tipografi Mantar Berseri yang terinspirasi untaian benang yang dijadikan huruf. Sementara itu, logo kedua terinspirasi dari hamparan alam Mantar: kabut, awan, siluet Poto Tano, serta gulungan benang. Selanjutnya, logo ketiga merupakan kombinasi gulungan benang dengan siluet pegunungan Mantar.
Setelah masing-masing anggota menyampaikan pilihan beserta alasannya, ternyata logo nomor dua yang paling banyak dipilih. Menurut Jaswiah, logo nomor dua lengkap dengan pemandangan gunung dengan matahari yang perlahan muncul, pohon-pohon hutan Mantar, serta pantai. Hal serupa juga disampaikan oleh Tati dan Hasna.
Sementara itu, Asmono, kepala desa Mantar, Dowani, dan Devi memilih logo nomor satu karena kesederhanaannya. Menurut Devi, logo tidak harus menggambarkan semua hal. Cukup fokus ke satu hal yang kaya makna. Meski demikian, logo nomor dua tetap lebih banyak terpilih.
Diskusi ditutup dengan buka bersama yang berlangsung penuh kehangatan. Selepas senja, kami kembali menumpang renjer, naik ke Bukit Mantar, menembus kabut yang mulai terbentuk.