DiTenun

Proses pelatihan kreatif hari terakhir tentang perpaduan warna, kertas kerja dan cerita dibalik setiap motif

Artikel/

Hari Terakhir Pelatihan Kreatif: Memadukan Warna, Kertas Kerja, dan Cerita di Balik Karya

Pada pelatihan kreatif hari terakhir ini, teman-teman kelompok tenun Mantar Berseri berhasil menghasilkan sembilan motif yang sudah terekam dalam gambar kerja aplikasi DiTenun.

Setelah membuat kertas kerja tenun dengan cara manual dan digital pada hari ketiga, pada  hari keempat ini kelompok Mantar Berseri belajar tentang perpaduan warna. Mereka juga belajar mengaplikasikannya pada DiTenun app. 

Kelas hari terakhir ini kembali dibuka dengan tinjauan dari dua peserta, Astuti dan Devi, tentang materi pada tiga hari pelatihan lalu. Selain itu, Rully, fotografer DiTenun juga menceritakan pengalamannya yang juga membersamai aktivitas peserta.

Mengidentifikasi dan Memadukan Warna Objek

Sebagai pengantar, Gabriella kembali membentangkan beberapa kain tenun dan mengajak peserta untuk mengidentifikasi dua jenis warna, yaitu warna utama dan warna aksen. Warna utama adalah warna yang dominan, sedangkan warna aksen adalah warna yang sesekali muncul pada kain tersebut.

Kami kemudian mengajak peserta untuk berlatih menyusun skema warna dari salah satu objek berikut: kemiri, bukit dan awan Mantar, jeruk sumba, padi buluh, serta rumah panggung. Tiap peserta memilih dua warna utama dan tiga warna aksen sebagai dasar warna benang kain tenun nantinya. Masing-masing peserta kemudian mempresentasikan alasan di balik pemilihan warna-warna tersebut. 

Astuti, salah satu peserta, memilih objek rumah panggung, serta memilih warna biru muda dan putih sebagai warna utama, terinspirasi dari warna dinding. Sementara itu, untuk warna aksen, ia memilih warna biru tua yang terinspirasi dari karpet, hijau tua dari warna kursi, serta warna coklat dari tiang penyangga rumah.

Warna-warna dalam Aplikasi DiTenun 

Setelah memadukan warna secara manual, kami kemudian mengajak teman-teman Mantar Berseri untuk mengaplikasikannya ke dalam DiTenun app. Didampingi fasilitator DiTenun, semua peserta berkelompok 2—3 orang, mengaplikasikan motif-motif yang sudah mereka buat sebelumnya dengan warna yang sudah dipilih ke dalam gambar kerja digital. Gambar kerja ini kemudian disimpan dan diunduh untuk dicetak nantinya. 

Terkumpul sembilan gambar kerja yang nantinya akan dipilih dua gambar untuk ditenun dengan dua mesin alat tenun bukan mesin (ATBM) di Rumah Tenun Mantar. Gambar-gambar kerja tersebut tentunya terinspirasi alam dan objek Mantar, seperti rumah panggung, jeruk sumba, bukit dan awan Mantar, daun bunga kasunting, dan buah kemiri.

Motif-motif tersebut adalah motif rumah panggung oleh Hafsah, dua rumah panggung lain oleh Astuti, motif bunga kasunting oleh Sabariah, jeruk sumba oleh Devi, ujung galang susu dara oleh Hasna, bunga kasunting Hasna, ujung galang susu dara oleh Tati, serta ujung bantal pipil oleh Jaswiah.

Dalam evaluasi di ujung sesi, kami mengajak peserta untuk merefleksi kesulitan yang mereka alami selama hari ini atau selama pelatihan. Beberapa peserta mengeluh kurang mahir menggunakan komputer atau laptop. Tati dan Astuti mengaku kurang bisa memadu padankan warna motif, lungsi, dan pakan.

Sementara itu, menurut Jaswiah tidak ada yang sulit selain menggambar. Menanggapi hal ini, fasilitator DiTenun, Nancy, mengingatkan bahwa dari gambar yang sederhana sekalipun bisa jadi motif yg bagus. Artinya, menggambar pun suatu objek pun tidak perlu persis sama dengan aslinya. 

Cerita di Balik Karya

Materi ekstra pada kelas terakhir selanjutnya dipaparkan oleh fasilitator DiTenun, Mirza. Ia mengingatkan tentang identitas Mantar yang menjadi akar dari produk-produk komunitas tenun, seperti yang sudah digali dari konsolidasi dengan warga des aini. Identitas masa lalu menjadi fondasi untuk identitas masa depan, dilestarikan, dan diceritakan kembali. 

Cerita adalah eleman penting untuk memberikan arti pada karya yang dibuat dengan menceritakan kisah di balik setiap tahap pembuatannya. Cerita ini dapat memberikan pengetahuan lebih dan mendekatkan audiens secara emosional terhadap karya dan pembuatnya.

Dipaparkan juga tentang elemen sebagai media bercerita. Misalnya, merah sebagai lambang marah sekaligus juga lambang cinta. Hitam sebagai warna ketakutan. Selain itu, bentuk seperti garis juga bisa menjadi media bercerita.

Sebagai bahan referensi komunitas kreatif di daerah lain, Nancy menceritakan tentang komunitas pembatik di Temanggung yang terinspirasi membuat produk baru dari bambu-bambu yang tumbuh di sekitar mereka. Selain itu, Gabriella menceritakan tentang komunitas tenun Kejora di Gang Kelapa, Singkawang, Kalimantan Barat. Kami mengajak teman-teman Mantar Berseri untuk melihat persamaan dan perbedaan komunitas-komunitas ini dengan komunitas mereka.

Di ujung kegiatan, kami membicarakan penghitungan beasiswa yang akan diberikan kepada peserta pada Senin depan. Kami mengingatkan teman-teman untuk tidak jengah atau segan membicarakan perihal uang karena mereka kelak akan menjadi sebuah komunitas bisnis yang harus mengelola keuangan secara transparan.