Mulusnya jalan aspal yang melancarkan percepatan ekonomi Mantar tenyata menjadi jalan terjal baru bagi perkembangan tenun Mantar. Peran sentral perempuan sebagai penggerak utama tenun Mantar juga diselimuti dilema.
Dahulu, orang luar yang bertandang ke Mantar harus menumpang mobil ranger untuk menaklukkan tanjakan curam yang berkelok-kelok. Setengah perjalanan berupa jalan berbatu dan berdebu saat panas dan berlumpur saat hujan.
Kini, jalan raya utama Poto Tano – Taliwang menuju Mantar sudah beraspal mulus. Perjalanan ke Mantar sekarang dapat ditempuh hanya dengan 15 menit berkendara motor. Namun, mudahnya akses jalan dan perkembangan ekonomi warga ternyata berdampak juga pada tradisi tenun Mantar.
Tenun Mantar, Penanda Masa Sulit
Mantar disebut sebagai desa di atas awan yang berada di ketinggian 630 meter di atas pemukaan laut. Desa di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini berjarak 20 kilometer dari Taliwang, ibukota Kabupaten Sumbawa Barat.
Selama ratusan tahun, warga Mantar bertahan hidup di dataran tinggi, tanpa akses dan kunjungan dari luar. Pada masa itu, mereka harus swadaya memenuhi kebutuhan hidup mereka; menyimpan hasil panen padi untuk makan berbulan-bulan, hingga membuat benang dan kain mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan sandang.
Dalam situasi serba terbatas ini, tenun atau nesek, dalam bahasa orang Mantar, menjadi satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan kain keluarga. Pada masa itu, leluhur orang Mantar menenun sendiri pakaian, kain gendongan, hingga perlengkapan rumah tangga lain. Perempuan-perempuan Mantar menenun dengan benang yang mereka buat sendiri, dari biji kapas yang mereka tanam sendiri. Selain itu, nesek dilakukan di sela kesibukan di kebun: menanam beras, jagung, dan tebu.
Latar belakang ini membuat tenun Mantar hingga kini dibanggakan, tapi juga direnungi sebagai penanda masa yang sulit. Masa saat orang Mantar tidak memiliki apa-apa karena keterbatasan akses, sehingga semua bahan dan perlengkapan harus dibuat sendiri dengan kerja yang intens dan melelahkan.
Hingga awal tahun 1980-an, menurut penuturan warga, semua baju dan perlengkapan dari kain tenun masih dihasilkan oleh masing-masing rumah tangga. Namun, sejak awal 1990-an, mulai banyaknya barang yang masuk dari hasil pertukaran; keberadaan uang untuk membeli pakaian jadi; serta makin berkurangnya tanaman kapas membuat nesek makin lama makin hilang.
Saat itu, walau akses jalan masih sulit, warga sudah dapat berjualan dan bertukar hasil bumi dengan keperluan rumah tangga. Pada era tersebut, satu per satu warga menjual alat tenunnya, hingga pada tahun 1990-an hampir tidak ada lagi alat tenun yang tersisa di Mantar.
Dibukanya akses jalan beraspal keluar masuk Mantar pada tahun 2000-an lama kelamaan membuat keterampilan nesek tidak lagi diturunkan kepada generasi muda. Kini, hanya tinggal beberapa penenun tua di Mantar dengan kondisi fisik yang sudah tidak sebaik dulu.
Tenun Mantar di antara Beban Ganda Perempuan
Di samping terbukanya akses jalan, peralihan budi daya warga dari padi ke jagung juga membuka perkenalan masyarakat Mantar kepada kapitalisme dan modernitas. Sejak tiap rumah tangga mampu menanam dan menjual berton-ton jagung, warga Mantar mulai dapat mengakses berbagai alat produksi, seperti kendaraan bermotor dan ternak. Perubahan ini juga berdampak pada pola kerja, pola relasi, kalender musim, serta pemenuhan berbagai kebutuhan.
Dalam tataran keluarga, pengolahan perkebunan jagung ternyata juga menuntut peran serta seluruh anggota keluarga, termasuk perempuan. Namun, berdasarkan pengamatan DiTenun, dari anggota keluarga lain, perempuanlah yang terlihat paling disibukkan. Artinya, pembagian kerja berbasis gender makin nampak. Laki-laki hanya berperan secara ekonomi dengan bekerja di kebun, sementara perempuan harus berperan ganda, baik dalam urusan domestik maupun ekonomi.
Dominasi logika ekonomi dan produktivitas membuat perempuan lebih dituntut terlibat dalam pengelolaan sumber daya. Akibatnya, ditambah urusan domestik yang juga harus diprioritasan, waktu yang dimiliki perempuan menikah, apalagi yang sudah memiliki anak, menjadi makin terbatas. Keterbatasan ini membuat perempuan menikah lebih sulit berkomitmen untuk urusan lain, seperti menenun.
Menemukan Titik Tengah
Pelibatan perempuan menikah dalam proses tenun hanya dapat terjadi antara lain jika suami sebagai pemegang kuasa dalam relasi gender tradisional tidak hanya mengizinkan, tapi juga ikut berperan dalam urusan domestik. Pembagian peran ini akan mengurangi beban ganda perempuan, sekaligus memungkinkannya berkomitmen pada proses tenun.
Di samping itu, pelibatan perempuan dalam proses tenun dapat difokuskan kepada perempuan muda yang belum menikah yang diasumsikan memiliki lebih banyak waktu dan energi. Mereka dianggap belum terbebani oleh peran domestik, ekonomi, dan publik seperti perempuan yang sudah menikah.
Selain itu, proses menenun merupakan kegiatan kreatif yang sebenarnya tidak memerlukan banyak orang dan tidak menuntut rutinitas yang terlalu tinggi. Oleh karena itu, kegiatan ini sebenarnya dapat dimulai dengan sedikit orang yang benar-benar mau bekerja bersama untuk kembali mengembangkan tenun Mantar. Dengan demikian, secara bertahap, ke depannya kegiatan ini diharapkan dapat lebih berdampak pada perkembangan ekonomi dan budaya masyarakat Mantar.
***
(Ditulis berdasarkan Laporan Penelitian Penggalian Budaya di Desa Mantar, Juli-Agustus&September 2022.
Mantar dalam Peralihan Budaya: Peluang dan Tantangan)