DiTenun

Ibu Maya sedang menenun dengan alat tenun gedogan di rumahnya di Mantar, Sumbawa Barat

Artikel/

Sejarah Tenun Nusantara: Tradisi dari Masa Prasejarah

Tenun pada masa lampau dilakukan dengan menggunakan alat dan bahan tenun sederhana yang terbuat dari kayu dan serat alam, seperti kapas, daun pandan, serat kelapa, serat pandan, dan rami. Hasil tenun dari masa ini biasanya berupa kain kasar dengan warna-warna alami, seperti coklat, kuning, dan hijau.

Di setiap daerah, mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Papua, memiliki corak, simbol, warna, makna, dan teknik tenun yang berbeda-beda. Semua berkaitan dengan nilai-nilai budaya, agama, dan sejarah di daerah tersebut.

Daerah Penghasil Tenun Nusantara Sejak Masa Prasejarah

Informasi tentang artefak tenun di Nusantara terbatas dan tidak terdokumentasi secara lengkap. Namun, beberapa peninggalan arkeologi menunjukkan bahwa seni tenun di Nusantara telah ada sejak ribuan tahun yang lalu.

Beberapa peninggalan tenun ditemukan antara lain kain tenun yang di situs arkeologi Gua Harimau, Sumatera Selatan. Kain yang terbuat dari serat pohon pinang ini diperkirakan berasal dari sekitar 3.000 tahun yang lalu. 

Dokumentasi sekelompok penenun di Karo, Sumatera Utara

Selain itu, di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur serta Donggala, Sulawesi Tengah juga ditemukan peninggalan tradisi tenun dari masa prasejarah. Di dunia daerah ini, kegiatan tenun masih terus berkembang hingga kini. 

Nagekeo, Nusa Tenggara Timur

Peninggalan tradisi tenun di Nusantara dari zaman Megalitikum ditemukan di daerah Nagekeo, Nusa Tenggara. Pada masa itu, kain tenun dibuat dari serat alam, seperti serat daun pisang dan serat kapas. Serat tersebut kemudian dipintal menjadi benang dan diwarnai dengan bahan-bahan alam, seperti akar kayu dan daun.

Hasil tenunan ini digunakan sebagai pakaian, seperti kain sarung dan selendang, serta sebagai hiasan dinding atau tikar. Kain tenun juga digunakan dalam upacara adat dan memiliki nilai penting dalam budaya dan kehidupan sosial masyarakat Nagekeo.

Donggala, Sulawesi Tengah

Di Donggala, artefak tenun Nusantara dari masa lampau dibuat menggunakan benang dari serat pohon pandan. Tenunan ini diperkirakan berasal dari sekitar 1500 tahun yang lalu. Pada masa itu, tenun Donggala diproduksi menggunakan alat tenun sederhana, seperti tual atau alat tenun tanpa alat pakan.

Pola dan warna yang digunakan dalam tenun Donggala juga memiliki makna simbolis yang sering kali dihubungkan dengan mitologi dan kepercayaan masyarakat setempat. Sebagai contoh, motif burung maleo yang dianggap sebagai simbol keberanian dan ketangguhan.

Pola tenun Donggala sangat khas dengan ciri khas geometris, terutama garis-garis dan pola berbentuk segi empat atau kotak. Warna-warna yang digunakan juga beragam, mulai dari warna cerah hingga warna gelap, serta sering kali dipadukan dengan motif bunga atau binatang.

Tradisi tenun terus berlanjut pada masa beridirnya kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Tengah, seperti Kerajaan Banawa, Sigi, dan Banggai dengan ciri khasnya masing-masing. Tenun Donggala mengalami masa kejayaan pada masa Kerajaan Banawa pada abad ke-17. Kemudian, selama masa penjajahan Belanda, tenun Donggala menjadi komoditas perdagangan penting dan diekspor ke berbagai negara di dunia.

Menelusuri riwayat tenun dari masa prasejarah membuat kita makin dapat menghargai tenun sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Nusantara. Dalam perkembangannya, tenun Nusantara menjadi semakin kompleks dan terkenal di dunia internasional. Kini, banyak jenis tenun Nusantara yang diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, seperti kain songket dan tenun ikat. 

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi modern dan produksi massal hidup berdampingan dengan peran tenun tradisional. Perpaduan ini membuat seni tenun Nusantara menjadi makin kaya.