DiTenun

Artikel/

Tidak Ada Tenun Palsu, Cerita Di Baliknya yang Kalian Belum Tahu

Ketika menjelajah di internet dengan memasukkan kata kunci “tips memilih tenun”, saya terkejut mendapati cukup banyak artikel yang menyertakan istilah tenun palsu. Artikel-artikel ini umumnya membagi tips singkat membedakan mana tenun asli dan tenun palsu, tanpa pemaparan lebih mendalam soal itu. Misalnya artikel yang tayang di Wolipop ini, 5 Tips Agar Tak Tertipu Membeli Tenun Palsu atau artikel di Genpi dengan judul Awas Jangan Terkecoh Saat Memilih Kain Tenun Asli Berkualitas, Ini Caranya ini.

Baik dua artikel di atas dan artikel-artikel serupa lainnya umumnya menyematkan kata palsu pada kain tenun dengan melihat proses pembuatannya. Yang mereka sebut kain tenun asli adalah kain-kain yang dibuat menggunakan alat tenun gedogan dan ATBM. Pewarna pun kadang disebut harus menggunakan pewarna alami. Semua yang serba konvensional dan tradisional dianggap memiliki nilai keaslian. Sementara, tenun-tenun yang diproduksi menggunakan mesin (ATM) digeneralisasi sebagai tenun palsu. Tenun mesin adalah tenun tak berkualitas dan palsu, begitu anggapan yang mereka bangun.

Pendapat ini keliru menurut Dr. Ratna Panggabean M.Sn, ahli tekstil tradisi Indonesia, peneliti dan dosen senior FSRD ITB. Menurutnya, hakikat tenun ada pada teknik pembuatan yang melibatkan jalinan benang lungsi dan pakan. Perlu dipahami bahwa meski kerap dilekatkan dengan sifat tradisional, teknologi pembuatan tenun juga terus mengalami perkembangan. Alat tenun gedogan memang merupakan alat tenun paling awal, setelahnya ada Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) tahun 1912. Dua alat ini masih menggunakan tenaga manusia dengan kapasitas produksi terbatas.

Para penenun masih umumnya masih menggunakan dua alat tradisional ini hingga tahun 70-an ketika kain-kain tradisional mulai booming di pasar tekstil Indonesia. Salah satu pendorong utamanya adalah  keputusan gubernur Jakarta Ali Sadikin untuk mengganti pakaian barat seperti jas, dengan batik lengan panjang sebagai busana resmi laki-laki. Keputusan ini dibuat pada 14 Juli 1972. Dilansir dari Tirto, keputusan ini kemudian direspon oleh Soeharto yang mempopulerkan batik semasa Orde Baru. Buntutnya, kain-kain tradisional termasuk tenun kena imbas menjadi populer. Permintaan pasar naik. Para pengusaha tenun melihat ini sebagai peluang bagus dan berusaha memenuhi permintaan pasar yang melonjak tersebut.

Sejak itulah penenun mulai membuka ruang untuk penggunaan Alat Tenun Mesin (ATM) yang sanggup memproduksi kain tenun secara massal. Perajin di Troso Jepara misalnya, beberapa beralih ke alat tenun bertenaga listrik ini. Sampai saat ini, jepara dikenal sebagai salah satu daerah penghasil tenun massal. “Sama kayak Pekalongan yang merupakan sentra batik, Troso itu dari dulu dikenal daerah penghasil tenun yang produksi massal, dan itu bukan masalah. Jangan selalu disalahkan,” ujar Ratna Panggabean.

Ratna juga menjelaskan, bahwa memang ada perbedaan antara kain tenun hasil gedogan – ATBM dengan tenun hasil mesin. Misalnya di ketebalan kain, kerapatan benang, dan yang paling kentara adalah tampilan motif. Di tenun buatan alat gedogan misalnya, tampilan benang lungsi lebih menonjol. Sementara tenun mesin tak bisa memperlihatkan karakter kain dengan jelas seperti kain gedogan. Harga kedunya pun berbeda, menyesuaikan daya beli pasarnya.

Namun bukan berati kain tenun buatan mesin adalah kain palsu. Keberadaan kain tenun mesin tidak bisa tidak juga adalah dinamika tradisi yang harus diapresiasi. Permintaan pasar yang naik mengindikasikan popularitas kain tenun yang juga naik. Ini secara tidak langsung menjaga kelestarian tradisi. Ratna Panggabean misalnya meyakini bahwa kain tradisional maupun kain mesin punya ruang sendiri-sendiri, “Tidak usah ditabrakkan. Tiap kain ada pangsa pasarnya masing-masing, jadi nggak usah khawatir”. 

Dengan tetap mengapresiasi kain tenun buatan mesin, berarti kita juga mengamini perkembangan zaman. Kita sedang melihat bagaimana tradisi tenun nusantara pun terus bergerak dari hari ke hari.